Liturgical Calendar

HOMILI PAUS LEO XIV DALAM MISA HARI MINGGU BIASA XXVI (MISA YUBILEUM KATEKIS) 28 September 2025

Bacaan Ekaristi : Am 6:1a,4-7; Mzm. 146:7,8-9a,9bc-10; 1Tim. 6:11-16; Luk. 16:19-31.

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Sabda Yesus menyampaikan kepada kita bagaimana Allah memandang dunia, setiap saat dan di setiap tempat. Kita mendengar dalam Bacaan Injil (Luk 16:19-31) bahwa mata-Nya mengamati orang miskin dan orang kaya: melihat yang satu mati kelaparan dan yang lain makan dengan lahap, yang satu mengenakan pakaian yang indah dan borok yang lain dijilat anjing (bdk. Luk 16:19-21). Namun Tuhan melihat ke dalam hati manusia, dan melalui mata-Nya, kita juga dapat mengenali orang yang berkekurangan dan orang yang acuh tak acuh. Lazarus dilupakan oleh orang yang ada di hadapannya, tepat di balik pintu rumahnya, namun Allah dekat dengannya dan mengingat namanya. Di sisi lain, orang yang hidup berkelimpahan tidak bernama, karena ia telah kehilangan dirinya sendiri dengan melupakan sesamanya. Ia tersesat dalam pikiran hatinya: penuh dengan harta benda dan hampa kasih. Harta bendanya tidak menjadikannya orang baik.

 

Kisah yang disampaikan Kristus kepada kita, sayangnya, sangat relevan saat ini. Di ambang kemewahan masa kini, terhampar kesengsaraan seluruh bangsa, yang dirusak oleh perang dan eksploitasi. Selama berabad-abad, tampaknya tidak ada yang berubah: betapa banyak Lazarus yang mati di hadapan keserakahan yang melupakan keadilan, di hadapan keuntungan yang menginjak-injak amal kasih, dan di hadapan kekayaan yang buta terhadap penderitaan kaum miskin! Namun Bacaan Injil meyakinkan kita bahwa penderitaan Lazarus akan berakhir. Penderitaannya berakhir sama seperti pesta pora orang kaya itu berakhir, dan Allah memberikan keadilan kepada keduanya: "Kemudian matilah orang miskin itu, lalu dibawa oleh malaikat-malaikat ke pangkuan Abraham. Orang kaya itu juga mati, lalu dikubur" (ayat 22). Gereja tanpa lelah mewartakan sabda Tuhan ini, agar dapat membuat hati kita bertobat.

 

Sahabat-sahabat terkasih, secara kebetulan yang luar biasa, perikop Injil yang sama ini juga diwartakan pada Yubileum Katekis di Tahun Suci Kerahiman. Berbicara kepada para peziarah yang datang ke Roma untuk perayaan tersebut, Paus Fransiskus menekankan bahwa Allah menebus dunia dari segala kejahatan dengan menyerahkan nyawa-Nya demi keselamatan kita. Karya penyelamatan Allah adalah awal dari misi kita karena karya ini mengundang kita untuk memberikan diri kita demi kebaikan semua orang. Paus berkata kepada para katekis: inilah pusat “yang dengannya segala sesuatu berputar, jantung yang berdetak yang memberi hidup kepada segala sesuatu ini adalah pewartaan Paskah, pewartaan pertama: Tuhan Yesus telah bangkit, Tuhan Yesus mengasihimu, dan Ia telah menyerahkan nyawa-Nya bagimu; bangkit dan hidup, Ia dekat denganmu dan menantikanmu setiap hari” (Homili, 25 September 2016). Kata-kata ini membantu kita merenungkan dialog dalam Bacaan Injil antara orang kaya dan Abraham. Permohonan orang kaya untuk menyelamatkan saudara-saudaranya menjadi panggilan kita untuk bertindak.

 

Berbicara kepada Abraham, orang kaya itu berseru: "Jika ada seseorang yang datang dari antara orang mati kepada mereka, mereka akan bertobat" (Luk. 16:30). Abraham menjawab, "Jika mereka tidak mendengarkan Musa dan para nabi, mereka juga tidak akan diyakinkan, sekalipun oleh seorang yang bangkit dari antara orang mati" (ayat 31). Nah, satu orang telah bangkit dari antara orang mati: Yesus Kristus. Oleh karena itu, sabda Kitab Suci tidak bermaksud mengecewakan atau mengecilkan hati kita, melainkan membangkitkan hati nurani kita. Mendengarkan Musa dan para nabi berarti mengingat perintah dan janji Allah, yang pemeliharaan-Nya tidak pernah meninggalkan siapa pun. Bacaan Injil mewartakan kepada kita bahwa hidup setiap orang dapat berubah karena Kristus bangkit dari antara orang mati. Peristiwa ini adalah kebenaran yang menyelamatkan kita; oleh karena itu, harus dikenal dan diwartakan. Tetapi itu saja tidak cukup; harus juga dikasihi. Kasihlah yang menuntun kita untuk memahami Injil, karena kasih mengubah kita dengan membuka hati kita terhadap sabda Allah dan terhadap wajah sesama kita.

 

Dalam hal ini, sebagai katekis, kamu adalah murid-murid Yesus yang menjadi saksi-saksi-Nya. Nama pelayananmu berasal dari kata kerja Yunani katēchein, yang berarti "mengajar dengan lantang, bergema." Ini berarti seorang katekis adalah pribadi sabda – sabda yang ia ucapkan dengan hidupnya sendiri. Jadi, katekis pertama kita adalah kedua orang tua kita: mereka yang pertama kali berbicara kepada kita dan mengajari kita berbicara. Sebagaimana kita belajar bahasa ibu kita, demikian pula pewartaan iman tidak dapat didelegasikan kepada orang lain; pewartaan iman terjadi di mana kita tinggal, terutama di rumah kita, di sekitar meja keluarga. Ketika ada suara, gestur, wajah yang menuntun kepada Kristus, keluarga mengalami keindahan Injil.

 

Kita semua telah diajar untuk beriman melalui kesaksian mereka yang telah beriman sebelum kita. Sejak masa kanak-kanak, remaja, muda, dewasa, bahkan lanjut usia, para katekis mendampingi kita dalam iman, berbagi dalam perjalanan seumur hidup ini, serupa dengan apa yang telah kamu lakukan pada hari-hari ini dalam ziarah Yubileum. Dinamika ini melibatkan seluruh Gereja. Ketika Umat Allah menuntun pria dan wanita kepada iman, “berkembanglah pengertian tentang kenyataan-kenyataan maupun kata-kata yang diturunkan, baik karena kaum beriman, yang menyimpannya dalam hati (bdk. Luk 2:19, 51), merenungkan serta mempelajarinya, maupun karena mereka menyelami secara mendalam pengalaman-pengalaman rohani mereka, maupun juga berkat pewartaan mereka, yang sebagai pengganti dalam martabat Uskup menerima kurnia kebenaran yang pasti.” (Dei Verbum, 18 November 1965, 8). Dalam persekutuan ini, Katekismus adalah “buku panduan perjalanan” yang melindungi kita dari individualisme dan perselisihan, karena ia menjadi kesaksian iman seluruh Gereja Katolik. Setiap orang percaya bekerja sama dalam karya pastoralnya dengan mendengarkan pertanyaan, ambil bagian dalam pergumulan, dan melayani keinginan akan keadilan dan kebenaran yang bersemayam dalam hati nurani manusia.

 

Beginilah cara para katekis mengajar – secara harfiah dalam bahasa Italia, dengan "meninggalkan jejak." Ketika kita mengajarkan iman, kita tidak sekadar memberi petunjuk, tetapi kita menempatkan sabda kehidupan di dalam hati, agar sabda itu menghasilkan buah-buah kehidupan yang baik. Kepada Diakon Deogratias, yang bertanya kepadanya bagaimana menjadi seorang katekis yang baik, Santo Agustinus menjawab, "Jelaskanlah segala sesuatu sedemikian rupa sehingga orang yang mendengarkanmu, dengan mendengarkan dapat percaya; dengan percaya dapat berharap; dan dengan berharap dapat mengasihi" (Petunjuk Para Pemula dalam Imam, 4, 8).

 

Saudara-saudari terkasih, marilah kita menghayati undangan ini! Marilah kita ingat bahwa tak seorang pun dapat memberi apa yang tidak dimilikinya. Jika orang kaya dalam Bacaan Injil menunjukkan belas kasihan kepada Lazarus, ia akan berbuat baik bukan hanya bagi orang miskin itu, tetapi juga bagi dirinya sendiri. Jika orang yang tak disebutkan namanya itu beriman, Allah akan menyelamatkannya dari segala siksaan. Namun, keterikatannya pada kekayaan duniawi merampas harapannya akan kebaikan sejati dan kekal. Ketika kita juga tergoda oleh keserakahan dan ketidakpedulian, banyaknya "Lazarus" hari ini mengingatkan kita akan sabda Yesus. Sabda itu menjadi katekese yang efektif bagi kita, terutama selama Yubileum ini, yang bagi kita semua merupakan masa pertobatan dan pengampunan, komitmen pada keadilan, dan pengupayaan yang tulus akan perdamaian.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 28 September 2025)

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.