Bacaan
Ekaristi : Am 6:1a,4-7; Mzm. 146:7,8-9a,9bc-10; 1Tim. 6:11-16; Luk. 16:19-31.
Saudara-saudari
terkasih,
Sabda
Yesus menyampaikan kepada kita bagaimana Allah memandang dunia, setiap saat dan
di setiap tempat. Kita mendengar dalam Bacaan Injil (Luk 16:19-31) bahwa
mata-Nya mengamati orang miskin dan orang kaya: melihat yang satu mati
kelaparan dan yang lain makan dengan lahap, yang satu mengenakan pakaian yang
indah dan borok yang lain dijilat anjing (bdk. Luk 16:19-21). Namun Tuhan
melihat ke dalam hati manusia, dan melalui mata-Nya, kita juga dapat mengenali
orang yang berkekurangan dan orang yang acuh tak acuh. Lazarus dilupakan oleh
orang yang ada di hadapannya, tepat di balik pintu rumahnya, namun Allah dekat
dengannya dan mengingat namanya. Di sisi lain, orang yang hidup berkelimpahan
tidak bernama, karena ia telah kehilangan dirinya sendiri dengan melupakan
sesamanya. Ia tersesat dalam pikiran hatinya: penuh dengan harta benda dan
hampa kasih. Harta bendanya tidak menjadikannya orang baik.
Kisah
yang disampaikan Kristus kepada kita, sayangnya, sangat relevan saat ini. Di
ambang kemewahan masa kini, terhampar kesengsaraan seluruh bangsa, yang dirusak
oleh perang dan eksploitasi. Selama berabad-abad, tampaknya tidak ada yang
berubah: betapa banyak Lazarus yang mati di hadapan keserakahan yang melupakan
keadilan, di hadapan keuntungan yang menginjak-injak amal kasih, dan di hadapan
kekayaan yang buta terhadap penderitaan kaum miskin! Namun Bacaan Injil
meyakinkan kita bahwa penderitaan Lazarus akan berakhir. Penderitaannya
berakhir sama seperti pesta pora orang kaya itu berakhir, dan Allah memberikan
keadilan kepada keduanya: "Kemudian matilah orang miskin itu, lalu dibawa
oleh malaikat-malaikat ke pangkuan Abraham. Orang kaya itu juga mati, lalu
dikubur" (ayat 22). Gereja tanpa lelah mewartakan sabda Tuhan ini, agar
dapat membuat hati kita bertobat.
Sahabat-sahabat
terkasih, secara kebetulan yang luar biasa, perikop Injil yang sama ini juga
diwartakan pada Yubileum Katekis di Tahun Suci Kerahiman. Berbicara kepada para
peziarah yang datang ke Roma untuk perayaan tersebut, Paus Fransiskus
menekankan bahwa Allah menebus dunia dari segala kejahatan dengan menyerahkan
nyawa-Nya demi keselamatan kita. Karya penyelamatan Allah adalah awal dari misi
kita karena karya ini mengundang kita untuk memberikan diri kita demi kebaikan
semua orang. Paus berkata kepada para katekis: inilah pusat “yang dengannya
segala sesuatu berputar, jantung yang berdetak yang memberi hidup kepada segala
sesuatu ini adalah pewartaan Paskah, pewartaan pertama: Tuhan Yesus telah
bangkit, Tuhan Yesus mengasihimu, dan Ia telah menyerahkan nyawa-Nya bagimu;
bangkit dan hidup, Ia dekat denganmu dan menantikanmu setiap hari” (Homili, 25
September 2016). Kata-kata ini membantu kita merenungkan dialog dalam Bacaan
Injil antara orang kaya dan Abraham. Permohonan orang kaya untuk menyelamatkan
saudara-saudaranya menjadi panggilan kita untuk bertindak.
Berbicara
kepada Abraham, orang kaya itu berseru: "Jika ada seseorang yang datang
dari antara orang mati kepada mereka, mereka akan bertobat" (Luk. 16:30).
Abraham menjawab, "Jika mereka tidak mendengarkan Musa dan para nabi,
mereka juga tidak akan diyakinkan, sekalipun oleh seorang yang bangkit dari
antara orang mati" (ayat 31). Nah, satu orang telah bangkit dari antara
orang mati: Yesus Kristus. Oleh karena itu, sabda Kitab Suci tidak bermaksud
mengecewakan atau mengecilkan hati kita, melainkan membangkitkan hati nurani
kita. Mendengarkan Musa dan para nabi berarti mengingat perintah dan janji
Allah, yang pemeliharaan-Nya tidak pernah meninggalkan siapa pun. Bacaan Injil
mewartakan kepada kita bahwa hidup setiap orang dapat berubah karena Kristus
bangkit dari antara orang mati. Peristiwa ini adalah kebenaran yang
menyelamatkan kita; oleh karena itu, harus dikenal dan diwartakan. Tetapi itu
saja tidak cukup; harus juga dikasihi. Kasihlah yang menuntun kita untuk
memahami Injil, karena kasih mengubah kita dengan membuka hati kita terhadap
sabda Allah dan terhadap wajah sesama kita.
Dalam
hal ini, sebagai katekis, kamu adalah murid-murid Yesus yang menjadi
saksi-saksi-Nya. Nama pelayananmu berasal dari kata kerja Yunani katēchein,
yang berarti "mengajar dengan lantang, bergema." Ini berarti seorang
katekis adalah pribadi sabda – sabda yang ia ucapkan dengan hidupnya sendiri.
Jadi, katekis pertama kita adalah kedua orang tua kita: mereka yang pertama
kali berbicara kepada kita dan mengajari kita berbicara. Sebagaimana kita
belajar bahasa ibu kita, demikian pula pewartaan iman tidak dapat didelegasikan
kepada orang lain; pewartaan iman terjadi di mana kita tinggal, terutama di
rumah kita, di sekitar meja keluarga. Ketika ada suara, gestur, wajah yang
menuntun kepada Kristus, keluarga mengalami keindahan Injil.
Kita
semua telah diajar untuk beriman melalui kesaksian mereka yang telah beriman
sebelum kita. Sejak masa kanak-kanak, remaja, muda, dewasa, bahkan lanjut usia,
para katekis mendampingi kita dalam iman, berbagi dalam perjalanan seumur hidup
ini, serupa dengan apa yang telah kamu lakukan pada hari-hari ini dalam ziarah
Yubileum. Dinamika ini melibatkan seluruh Gereja. Ketika Umat Allah menuntun
pria dan wanita kepada iman, “berkembanglah pengertian tentang kenyataan-kenyataan
maupun kata-kata yang diturunkan, baik karena kaum beriman, yang menyimpannya
dalam hati (bdk. Luk 2:19, 51), merenungkan serta mempelajarinya, maupun karena
mereka menyelami secara mendalam pengalaman-pengalaman rohani mereka, maupun juga
berkat pewartaan mereka, yang sebagai pengganti dalam martabat Uskup menerima
kurnia kebenaran yang pasti.” (Dei Verbum, 18 November 1965, 8). Dalam
persekutuan ini, Katekismus adalah “buku panduan perjalanan” yang melindungi
kita dari individualisme dan perselisihan, karena ia menjadi kesaksian iman
seluruh Gereja Katolik. Setiap orang percaya bekerja sama dalam karya
pastoralnya dengan mendengarkan pertanyaan, ambil bagian dalam pergumulan, dan
melayani keinginan akan keadilan dan kebenaran yang bersemayam dalam hati
nurani manusia.
Beginilah
cara para katekis mengajar – secara harfiah dalam bahasa Italia, dengan
"meninggalkan jejak." Ketika kita mengajarkan iman, kita tidak
sekadar memberi petunjuk, tetapi kita menempatkan sabda kehidupan di dalam hati,
agar sabda itu menghasilkan buah-buah kehidupan yang baik. Kepada Diakon
Deogratias, yang bertanya kepadanya bagaimana menjadi seorang katekis yang
baik, Santo Agustinus menjawab, "Jelaskanlah segala sesuatu sedemikian
rupa sehingga orang yang mendengarkanmu, dengan mendengarkan dapat percaya;
dengan percaya dapat berharap; dan dengan berharap dapat mengasihi"
(Petunjuk Para Pemula dalam Imam, 4, 8).
Saudara-saudari
terkasih, marilah kita menghayati undangan ini! Marilah kita ingat bahwa tak
seorang pun dapat memberi apa yang tidak dimilikinya. Jika orang kaya dalam
Bacaan Injil menunjukkan belas kasihan kepada Lazarus, ia akan berbuat baik
bukan hanya bagi orang miskin itu, tetapi juga bagi dirinya sendiri. Jika orang
yang tak disebutkan namanya itu beriman, Allah akan menyelamatkannya dari
segala siksaan. Namun, keterikatannya pada kekayaan duniawi merampas harapannya
akan kebaikan sejati dan kekal. Ketika kita juga tergoda oleh keserakahan dan
ketidakpedulian, banyaknya "Lazarus" hari ini mengingatkan kita akan
sabda Yesus. Sabda itu menjadi katekese yang efektif bagi kita, terutama selama
Yubileum ini, yang bagi kita semua merupakan masa pertobatan dan pengampunan,
komitmen pada keadilan, dan pengupayaan yang tulus akan perdamaian.
_____
(Peter Suriadi - Bogor, 28 September 2025)
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.